Jawa Pos

Minim Partisipasi Publik

Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari yakin, cepat atau lambat, masyarakat akan menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mengapa demikian? Berikut petikan wawancaranya.

Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas

DPR mengebut pembahasan RUU IKN, apakah publik diberi cukup ruang untuk terlibat dalam pembahasan?

Memang ada permasalahan dalam proses legislasi kita dalam beberapa periode belakangan ini. Termasuk RUU IKN. Beberapa hal, menurut saya, tidak terbuka. Padahal, semestinya UU Ciptaker menjadi pembelajaran bagi pemerintah dan DPR agar tidak terburu-buru dalam pembentukan undang-undang. Ada lima tahapan yang hampir tidak terdapat partisipasi publik dan kelemahan dalam proseduralnya. Terutama soal keterbukaan akses. Misalnya, naskah akademik dan draf RUU

Kentara semalam itu tidak ada ruang di publik untuk lebih jauh menelaah RUU itu. Misalnya, soal format pemerintahan daerah IKN yang masih diperdebatkan kesesuaiannya dengan konstitusi. Gagasan demokrasinya juga tidak terlihat. Jadi, memang sangat terburu-buru jika dilihat prosesnya.

Ada urgensi apa sehingga RUU IKN dibahas dengan sangat cepat?

Ada sesuatu yang sudah, katakanlah by order, untuk segera diselesaikan. Baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak yang berkepentingan dengan pembangunan ibu kota baru ini. Kalau tahapannya terburuburu, menurut saya memang ada target yang dikejar. Dan biasanya, kalau sudah ada target, ada yang memesan ya. Katakanlah kelompok lobbyist politik yang sedang bermain untuk kepentingan bisnis tertentu di IKN. Atau proyek-proyek yang hendak dikerjakan di ibu kota negara. Jadi, secara teori politik ya selalu undangundang yang dikejar, apalagi mengeluarkan biaya tinggi. Tidak hanya undang-undang itu akan memberikan proyek atau program tertentu dengan angka yang luar biasa besar, kecenderungannya secara teori memang ada yang memesannya.

Anda melihat potensi pelanggaran konstitusi dalam pembahasan RUU IKN yang bisa digugat oleh publik?

Saya pikir kalau memang terburu-buru seperti ini, belum lagi isinya belum dapat dibaca leluasa oleh publik. Tinggal menunggu waktu bakal ada upaya yang men-judicial review. Sebab, pemindahan ibu kota ini bukan hal yang sederhana. Dampaknya bakal besar. Jadi, kalau terburu-buru seperti ini, saya yakin akan ada yang mempertanyakan dan mengajukan uji materil maupun formilnya di Mahkamah Konstitusi.

Yang Anda lihat paling kentara ada potensi pelanggaran konstitusi dalam pembahasan RUU IKN di bagian mana?

Soal partisipasi publik sebagaimana yang dikritik MK, ada empat tahapan yang dilanggar. Kita tidak bisa berpartisipasi karena naskah akademiknya tidak terlalu terbuka. Proses sosialisasinya juga terburuburu. Lalu, pengesahan, pembahasan, dan pengundangannya juga terburu-buru. Jadi, lima tahapan pembentukan undang-undang, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, dan pengundangan, saya rasa akan ada masalah di sana.

Dilihat dari RUU yang dibahas, apakah sudah cukup komprehensif?

Saya belum bisa pastikan model pemerintahan daerahnya dan relasinya dengan proses pemilu. Lalu, kewenangan siapa dan segala macamnya. Serta posisi masyarakat adat. Jadi, itu yang krusial ya.

Lewat cara apa lagi publik bisa memperbaiki proses pembentukan undang-undang itu?

Yang formil ini, proseduralnya karena publik tidak dilibatkan, bahkan kalau bisa dikatakan yang paling terdampak kan dua daerah ya. DKI Jakarta dan Kalimantan Tengah, Penajam Paser Utara itu. Dua ini saya tidak dengar bagaimana pemerintah bisa menampung aspirasi publik. Selain ibu kota baru, Penajam itu akan dijadikan sentral penyelenggaraan pemerintahan, juga harus diingat ibu kota lama mau dijadikan apa. Kalau di negaranegara maju, ibu kota lama akan selalu difokuskan pada hal-hal tertentu. Misalnya, New York kota perdagangan, Philadelphia kota administrasi, dan sebagainya.

Jakarta yang akan ditinggalkan ini targetnya jadi seperti apa semestinya juga dijelaskan kepada publik. Jadi, publik Jakarta juga tercerdaskan dengan pilihan pemindahan ibu kota ini. Bahkan, di Kalimantan itu sangat banyak masyarakat adatnya, itu seperti apa relasi pemerintah pusat dengan masyarakat adat. Kalau tidak diberi ruang-ruang khusus, saya akan merasa pemindahan ibu kota ini memang dipaksakan tanpa peran orang banyak.

FRONT PAGE

id-id

2022-01-19T08:00:00.0000000Z

2022-01-19T08:00:00.0000000Z

https://jawapos.pressreader.com/article/281951726188561

Jawa Pos