Jawa Pos

Pakunagara dan Kritik terhadap Otorita

Juga mengesampingkan nama yang pernah diusulkan saat konsultasi publik yang dilakukan Pansus IKN beberapa waktu lalu.

Selain itu, penamaan Nusantara kurang menggambarkan nama dan lokasi calon IKN di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU), dan beberapa kecamatan di Kutai Kartanegara (Kukar). ”Oleh karena pengusulan nama, kami sampaikan secara resmi melalui forum pansus. Kami mohon penjelasan terkait dengan penolakan nama yang kami usulkan,” tegas dia.

Dia berharap Presiden Joko Widodo mempertimbangkan usulan nama Pakunagara untuk calon IKN baru. Alasannya, Pakunagara merupakan akronim dari Penajam Paser Utara (Pa) dan Kutai Kartanegara (Kunegara).

”Jika nama IKN adalah Pakunagara, istilah ini dibagi menjadi paku dan nagara. Paku merupakan akronim dari Paser dan Kutai. Atau, Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara yang merupakan lokasi IKN,” jelas rektor Universitas Balikpapan (Uniba) tersebut.

Selain itu, istilah paku bisa berarti penguat. Nagara merupakan akronim dari Nagari Rimba Nusantara. Nagari berarti pusat pemerintahan, rimba berarti forest city atau green city, dan Nusantara bermakna berbasis daratan dan perairan (sungai dan laut). ”Nama Pakunegara atau Pakunagara merupakan usulan dari sejumlah rektor dan akademisi, termasuk Forum Dekan Teknik Indonesia (FDTI). Usulan ini kami sampaikan sebagai bagian dari masyarakat yang mendukung pemindahan IKN dan yang mencintai IKN,” ujarnya.

Sementara itu, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, memberikan catatan khusus untuk Pansus IKN. Dalam rilisnya, Fakultas Hukum Unmul membedah UU IKN ini dan menemukan banyak kejanggalan. Mereka berpendapat bahwa RUU IKN belum layak untuk disahkan.

”Karena terdapat banyak aspek fundamental dalam ketatanegaraan yang tidak sesuai dan berdampak besar pada keberlangsungan pemerintahan ibu kota negara ke depan,” ungkap Dekan Fakultas Hukum Unmul Mahendra Putra Kurnia dalam rilisnya.

Ada beberapa catatan hukum atas RUU IKN ini. Salah satunya, posisi kewenangan. Pasal 4 ayat 2 RUU IKN, misalnya, menyebutkan, dalam menjalankan fungsi sebagai ibu kota negara sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1, IKN memiliki bentuk pemerintahan, tugas, dan wewenang yang diatur secara khusus.

Namun, lanjut dia, pasal 11 justru menyatakan ketentuan tentang struktur organisasi, tugas, wewenang, dan tata kerja pemerintahan khusus IKN yang diatur dalam peraturan presiden. Jadi, pasal 4 dinilai tidak koheren dengan pasal 11.

Lalu, pemberian pengaturan kewenangan berdasar peraturan presiden dinilainya sebagai bentuk executive heavy. Yang akan mengantarkan kebijakan pembangunan IKN pada dominasi pemerintah pusat.

Lalu, dalam pasal 1 ayat 8, ketentuan umum mengartikan pemerintahan khusus IKN adalah pemerintahan yang bersifat khusus IKN yang diatur dengan UU ini. Konsep penyelenggaraan pemerintahan khusus oleh otorita tidak dikenal dalam UUD 1945. Kedudukan otorita IKN sebagai lembaga pemerintahan setingkat menteri dianggap memicu pertanyaan tentang kedudukan kepala otorita terhadap menteri.

Dalam diskusi daring kemarin, Harry Setya Nugraha, akademisi Fakultas Hukum Unmul, memaparkan bahwa ketidakjelasan RUU IKN akhirnya bakal menambah catatan panjang fenomena antara jabatan kepala otorita dan menteri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berdasar RUU IKN, kepala otorita dan wakil kepala otorita IKN memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat ditunjuk kembali dalam masa jabatan yang sama.

Penunjukan yang dilakukan presiden dianggap mencederai semangat demokrasi yang telah dibangun di Indonesia. ”Ketentuan ini berpotensi mengandung tendensi yang cukup politis dan elitis,” papar dia.

Di sisi lain, anggota Pansus RUU IKN Budisatrio Djiwandono menuturkan, saat pembahasan RUU IKN, pihaknya terus menerima masukan dari semua elemen masyarakat. ”Termasuk konsultasi publik di Unmul,” kata dia.

FRONT PAGE

id-id

2022-01-19T08:00:00.0000000Z

2022-01-19T08:00:00.0000000Z

https://jawapos.pressreader.com/article/281964611090449

Jawa Pos